Pada 17 Agustus lalu, saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan ke 63, sebuah peristiwa yang menyedihkan harus dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) jemaat Cipayung. Hari itu, "kemerdekaan" mereka untuk beribadah direngut dari tangan mereka.
Hari minggu itu, mereka telah mengantongi ijin untuk melakukan ibadah ibadah dalam rangka merayakan hari kemerdekaan bangsa ini. Ibadah itu dimulai pada pukul 9.00 WIB. Namun ditengah ibadah, saat mereka akan menyanyikan lagu "Indonesia Raya," tepatnya pada pukul 9:31 tiba-tiba jemaat mendengar keributan yang terjadi diluar, hal itu akhirnya membuat mereka menghentikan ibadah.
Terlihat dari dalam ada sekitar 50 orang massa di halaman gereja, namun diperkirakan yang berada di luar pagar sekitar ratusan orang. Pada saat jemaat melihat kerumunan orang diluar, salah satu dari mereka sempat menelphon pos polisi yang ada tak jauh dari lokasi. Beberapa saat kemudian, mereka mendapat komfirmasi bahwa ada beberpa orang polisi didepan gereja. Namun keberadaan pihak berwajib dilokasi tidak bisa menahan massa untuk mendobrak pagar dan merangsek masuk ke halaman gereja.
Pada saat itu sempat terjadi aksi dorong-mendorong antara jemaat yang hanya berjumlah 20 orang dengan massa, namun mereka tak mampu menahan massa sehingga mereka masuk ke ruangan gereja. Massa bahkan sempat merusak kursi dan beberapa bagian gereja. "Beberapa memang orang daerah tersebut, namun kebanyakan bukan penduduk setempat," ujar Pendeta Chris Ambesa gembala sidang gereja tersebut.
Massa kemudian mengusir jemaat, dan menyuruh mereka untuk tidak beribadah ditempat tersebut lagi. Di depan gereja tersebut kemudian dipasangi spanduk yang berbunyi, "Pondok Rangon Jakarta Timur Steril Dari Bangunan Rumah Dijadikan Tempat Ibadah/Gereja." Hingga saat ini, jemaat GPdI Cipayung ini belum mendapatkan tempat untuk beribadah.
Pdt. Chris Ambesa memberi keterangan kepada Jawaban.com bahwa saat ini pihaknya sedang berkonsultasi dengan orang-orang yang berkompeten untuk menindak lanjuti penutupan gerejanya, kemungkinan besar pihaknya akan menempuh jalur hukum.
Dengan hal yang dialami oleh gerejanya dan juga beberapa institusi lain, sebagai contoh STT SETIA, Pdt. Chris menyampaikan sebuah pengharapan.
"Saya mengharapkan PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia - Red), dapat membentuk sebuah tim lintas denominasi untuk mengantisipasi dan membantu gereja dan juga sekolah tinggi yang sedang mengalami masalah seperti ini."
SKB 2 Menteri No. 1 tahun 1969 yang digantikan menjadi Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 8 dan 9 pada tanggal 21 Maret 2006, ternyata tidak menghentikan perusakan atas gereja dan institusi-institusi Kristen. Namun dalam menghadapi semua tekanan dan ketidakadilan ini, ada sebuah pesan dari Pdt. Chris Ambesa, "Semua penganiayaan ini adalah bagian dari penggenapan Firman Tuhan. Kita harus menerimanya dengan ucapan syukur. Suatu hari kelak, tetap kebenaran akan muncul seperti fajar."
Mari berdoa bagi mereka yang sedang mengalami penganiayaan, dan juga bagi bangsa ini, supaya Indonesia mengenal kebenaran serta keadilan ditegakkan.